Artikel Media Massa
DPR dan Belenggu Century
DPR dan Belenggu
Century. Kasus Century ibarat
badai yang tak kunjung berlalu. Setelah menyita perhatian publik begitu besar
dalam pengambilan keputusan politik di DPR yang akhirnya memutuskan bahwa
kebijakan pemberian dana talangan adalah kebijakan yang salah dan terindikasi
melanggar hukum, kini kasus Century kembali memanas seiring dengan pernyataan
Ketua KPK Abraham Samad yang berjanji menuntaskan kasus Century dalam waktu
satu tahun.
Blunder Ketua KPK
Pernyataan Ketua KPK menjadi blunder karena disampaikan dalam forum politik di DPR yang memberi kesan seolah KPK memang sejak awal menjadikan Century sebagai sasaran tembak. Sebagaimana diketahui bahwa Century kerap dijadikan bahan tawar-menawar politik Partai Golkar dalam menyikapi kebijakan strategis Pemerintah. Padahal, ada banyak kasus besar yang telah menunggu KPK seperti kasus Gayus dan suap dalam pemilihan DGS BI.
Celakanya, pernyataan Abraham Samad ini dikeluarkan untuk kasus yang sangat kental nuansa politiknya. Seharusnya KPK fokus saja menangani dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus tersebut, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan peluru untuk membombardir KPK di kemudian hari. Jika dalam setahun KPK tak mampu membongkar kasus Century, KPK akan kembali menjadi sasaran tembak politisi Senayan.
Permasalahan menjadi semakin runyam ketika masa kerja tim pengawas kasus Century diperpanjang. Timwas tentu akan semakin mendorong KPK setelah pimpinannya mengeluarkan janji tersebut, dan bisa jadi, dorongan tersebut adalah upaya mendikte dan membelenggu KPK.
Politik Pencitraan
Tak hanya itu, kentalnya nuansa politik dalam kasus Century juga akan dijadikan sarana bagi parpol untuk kembali rajin menyambangi media massa dan berusaha mencuri perhatian publik untuk kepentingan Pemilu 2014. Kita ingat betul betapa seringnya para inisiator hak angket Century dahulu begitu fenomenal karena selalu muncul di televisi. Bayangkan, terus bergulirnya kasus Century dapat dijadikan alat kampanye gratis bagi politisi yang akan bertarung di pemilu.
Perlu dipahami bahwa kasus Century berdiri di dua ranah yang akan berbeda muara penyelesaiannya, yakni politik dan hukum. Politik hanya akan menghasilkan transaksi-transaksi, sementara hukum membuktikan benar atau tidaknya upaya penyelamatan Bank Century dan siapa yang mengambil keuntungan di balik penyelamatan itu.
Untuk itu, biarkan KPK menyelesaikan dimensi hukum kasus Century dan kita mendorong penyelesaian kasus sesegera mungkin. Jika memang tidak ditemukan indikasi korupsi berdasarkan fakta dan bukti, tentu KPK harus tegas melaporkannya kepada publik, dan masyarakat harus mengawalnya dari tekanan politik manapun. Dan bagi DPR, alangkah baiknya jika proses politik hak angket dilanjutkan dengan menempuh hak menyatakan pendapat yang memang dijamin oleh undang-undang. Dengan begitu, pendapat DPR jika memang menyatakan adanya dugaan tindak pidana oleh wakil presiden maka dapat segera ditindaklanjuti dengan mekanisme forum previlegiatum oleh Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan di parlemen.
Dengan begitu, hukum akan tetap menjadi panglima tanpa harus mengerdilkan proses politik. Mengenai tak sehatnya dinamika politik, biarlah rakyat yang menilai.
M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM
Opini, Okezone, 30 Januari 2012
Pernyataan Ketua KPK menjadi blunder karena disampaikan dalam forum politik di DPR yang memberi kesan seolah KPK memang sejak awal menjadikan Century sebagai sasaran tembak. Sebagaimana diketahui bahwa Century kerap dijadikan bahan tawar-menawar politik Partai Golkar dalam menyikapi kebijakan strategis Pemerintah. Padahal, ada banyak kasus besar yang telah menunggu KPK seperti kasus Gayus dan suap dalam pemilihan DGS BI.
Celakanya, pernyataan Abraham Samad ini dikeluarkan untuk kasus yang sangat kental nuansa politiknya. Seharusnya KPK fokus saja menangani dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus tersebut, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan peluru untuk membombardir KPK di kemudian hari. Jika dalam setahun KPK tak mampu membongkar kasus Century, KPK akan kembali menjadi sasaran tembak politisi Senayan.
Permasalahan menjadi semakin runyam ketika masa kerja tim pengawas kasus Century diperpanjang. Timwas tentu akan semakin mendorong KPK setelah pimpinannya mengeluarkan janji tersebut, dan bisa jadi, dorongan tersebut adalah upaya mendikte dan membelenggu KPK.
Politik Pencitraan
Tak hanya itu, kentalnya nuansa politik dalam kasus Century juga akan dijadikan sarana bagi parpol untuk kembali rajin menyambangi media massa dan berusaha mencuri perhatian publik untuk kepentingan Pemilu 2014. Kita ingat betul betapa seringnya para inisiator hak angket Century dahulu begitu fenomenal karena selalu muncul di televisi. Bayangkan, terus bergulirnya kasus Century dapat dijadikan alat kampanye gratis bagi politisi yang akan bertarung di pemilu.
Perlu dipahami bahwa kasus Century berdiri di dua ranah yang akan berbeda muara penyelesaiannya, yakni politik dan hukum. Politik hanya akan menghasilkan transaksi-transaksi, sementara hukum membuktikan benar atau tidaknya upaya penyelamatan Bank Century dan siapa yang mengambil keuntungan di balik penyelamatan itu.
Untuk itu, biarkan KPK menyelesaikan dimensi hukum kasus Century dan kita mendorong penyelesaian kasus sesegera mungkin. Jika memang tidak ditemukan indikasi korupsi berdasarkan fakta dan bukti, tentu KPK harus tegas melaporkannya kepada publik, dan masyarakat harus mengawalnya dari tekanan politik manapun. Dan bagi DPR, alangkah baiknya jika proses politik hak angket dilanjutkan dengan menempuh hak menyatakan pendapat yang memang dijamin oleh undang-undang. Dengan begitu, pendapat DPR jika memang menyatakan adanya dugaan tindak pidana oleh wakil presiden maka dapat segera ditindaklanjuti dengan mekanisme forum previlegiatum oleh Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan di parlemen.
Dengan begitu, hukum akan tetap menjadi panglima tanpa harus mengerdilkan proses politik. Mengenai tak sehatnya dinamika politik, biarlah rakyat yang menilai.
M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM
Opini, Okezone, 30 Januari 2012
Thank You!
Media Massa
Media
massa (mars media) singkatan dari media komunikasi massa (mass communication
media) yaitu sarana, channel, atau media untuk berkomunikasi kepada public.
Istilah media sering disingkat “media” saja tanpa “massa”. Media massa
merupakan suatu sumber informasi, hiburan, dan sarana promosi (iklan).
Pengertian media massa menurut leksikon komunikasi, media massa adalah “sarana penyampai
pesan yang berhubungan langsung dapat masyarakat luas misalnya radio, televise,
dan surat kabar”. Menurut cangara media adalah alat atau sarana yang digunakan
untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian
media massa sendiri alat yang digunaka dalam penyampaian pesan dari sumber
kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar,
film, radio dan televise.Media massa
adalah sarana komunikasi massa dimana proses penyampaian pesan, gagasan, atau
informasi kepada orang banyak (public) secara serentak.
Karakteristik
media massa, sebuah media bisa disebut media massa jika memiliki karakteristik
tertentu, karakteristik media massa menurut cangara (2006) antara lain :
1. Bersifat melembaga,
artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyakorang, yakni mulai dari
pengumpulan, pengelola, sampai pada penyajian informasi.
2. Bersifat
satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya
dialog antara pengirim dan penerima. Kalau pun terjadi reaksi/umpan balik,
biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan
serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki
kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan
diterima oleh banyak orang dalam waktu yang sama.
4. Memakai
perantara teknis atau mekanis, seperti radio, televise, surat kabar dan
semacamnya.
5. Bersifat
terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa
mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Menurut Djafar H. Assegaf (1991), media massa
memiliki 5 ciri :
1. Komunikasi
yang terjadi dalam media massa bersifat searah dimana komunikasi tidak dapat memberikan
tanggapan secara langsung kepada komunikatornya
yang biasa disebut dengan tanggapan yang
tertunda,
2. Media massa menyajikan rangkaian/aneka pilihan materi
yang luas bervariasi,
3. Media massa dapat menjangkau sejumlah besar khlayak,
4. Media massa menyajikan materi yang dapat mencapai
tingkat intelek rata-rata,
5. Media massa diselenggarakan oleh lembaga masyarakat
atau organisasi yang terstruktur.
Kategori media dapat diklasifikasikan kepada
3 kategori :
1. Media
cetak contohnyai koran, buletin, majalah, dan lain sebagainya
2. Media
elektronik contonya televisi, radio, video, film, dan lain
sebagainya
3. Media
online contohnya koran online, internet dan lain sebagainya
Media massa
memiliki peranan strategis guna membentuk pola pikir dan tindakan masyarakat.
Dan pada era keterbukaan seperti saat ini media menjadi referensi atau acuan
dalam setiap tindakan dan keputusan strategis contoh media televisi yang sering
menayangkan tindak kriminal dan kekerasan secara tidak langsung telah ikut
mereduksi cara pandang dan tindakan masyarakat. Sehingga informasi yang
diperoleh mendorong individu (penonton) untuk meniru adegan atau tindakan yang
ada di TV. Akibatnya tayangan kekerasan di TV, kekerasan ditengah masyarakat
pun meningkat, masyarakat menjadi kecanduan terhadap kekerasan yang dilihat
dalam penanyangan televisi, semisal penanyangan acara smackdown di televisi
diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa
kasus, banyak anak-anak yang meniru adegan tersebut, sehingga banyak
mengakibatkan anak-anak yang tewas akibat meniru adegan di televisi tersebut
Dampak positif dari adanya televisi ialah masyarakat dapat memperoleh informasi
secara cepat, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak
dan sesaat sehingga masyarakat tidak ketinggalan berita. Jadi disarankan kepada
para masyarakat agar bisa menyaring/ pandai-pandai memilah tontonan yang
ditonton.
Selain
dampak negatif dan dampak positif dari media televisi ada juga dampak positif
dan dampak negatif dari media internet yakni facebook. Dampak negatif dari
facebook adalah kita akan menghabiskan banyak waktu dan uang untuk bermain
facebook sehingga pekerjaan yang lain akan dilalaikan, facebook juga akan bisa
dijadikan ajak penculikan atau penipun. Dan saat ini banyak anak yang diculik
melalui facebook dengan bermodalkan embel-embel cinta, sering sekali di
telivisi disiarkan orang tua yang kehilangan anak akibat berkenalan difacebook
yang didominasi oleh para remaja, awalnya mereka akan diajak berkenalan lalu
lama kelamaan mereka akan diajak pergi jauh atau semacam diculik, mengetahui
anaknya tidak kunjung pulang maka para orang tua akan kebinggungan mencari
anaknya. Dampak positif dari facebook adalah kita dapat bertemu teman lama di
facebook kita bisa mencekramah atau berbincang-bincang disana, kita bisa
mendapat informasi dan lain sebagainya. Jadi media massa mengandung banyak
sekali dampak, kita sendiri yang harus pandai-pandai dalam menggunakannya.
Perempuan Terdampak Korupsi
Perempuan adalah
rahim bangsa, dari dirinya lahir generasi penerus. Perempuan juga menjadi titik
awal di mana anak mendapatkan pendidikan, seperti yang dikatakan RA Kartini
dalam penggalan suratnya di atas. Memiliki rahim, hamil, melahirkan dan harus
berwawasan demi bekal mendidik adalah hal yang harus dimiliki seorang
perempuan. Sayangnya, apakah kebutuhan untuk memenuhi itu semua sudah
tercukupi? Rasanya tidak. Masih banyak perempuan Indonesia yang belum
sepenuhnya mendapatkan haknya.
Lantas apa yang
membuat pemenuhan kebutuhan perempuan Indonesia tidak terpenuhi? Banyak hal dan
banyak faktor. Pendidikan rendah, kesehatan sulit diakses, layanan publik tidak
memadai dan segudang permasalahan lainnya. Seandainya permasalahan ini diurai,
salah satu faktor pemicu paling besar adalah korupsi. Seperti dikatakan Frans
Magnis Suseno, korupsi ibarat rayap menggerogoti tiang kehidupan bangsa yang
telah dibangun. Perlahan tapi pasti, korupsi menghancurkan banyak sektor dan
banyak masyarakat tidak menyadari ini.
Paradigma korupsi
merugikan belum nampak terlihat di masyarakat. Sebagian besar masyarakat masih
menganggap bila uang tak hilang dari dompet, maka tak jadi golongan yang
terdampak korupsi. Padahal pandangan semacam ini adalah salah. Coba kita
bayangkan, saat uang negara dikorup, masyarakat bisa mendapatkan satu
bagian. Padahal bila uang tersebut tidak dikorup masyarakat bisa menikmati
sepuluh bagian.
Bagi banyak orang
dampak korupsi bisa jadi tidak dirasakan secara signifikan, apalagi masyarakat
yang tinggal di perkotaan. Tapi coba sejenak kita lihat daerah yang jauh dari
riuh rendahnya kota-kota besar. Mereka masyarakat yang paling terdampak,
termasuk perempuannya.
Misalnya saat
mengandung, seorang perempuan harus memeriksakan keadaannya ke puskesmas atau
rumah sakit. Tapi bagi sebagian perempuan yang tinggal jauh dari akses
kesehatan akan merasakan kesulitan. Belm lagi masalah seperti ini biasanya
karena fasilitas infrastruktur atau jalan yang tidak memadai.
Begitupun saat akan
melahirkan, tidak sedikit perempuan Indonesia meninggal saat melahirkan. Lihat
saja hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Angka
Kematian Ibu masih cukup tinggi, 359 per 100.000 kelahiran. Padahal harapannya
sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut menunjukkan
tingkat kesehatan perempuan yang masih rendah.
Persoalan ini memang
kompleks. Tapi setidaknya kesulitan perempuan untuk akses kesehatan salah
satuya disebabkan oleh mengguritanya korupsi. Cerita pilu lainnya yang harus
dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah persoalan pendidikan. Sistem patriarki
menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Sebuah keluarga yang hanya
mampu menyekolahkan salah satu anaknya karena biaya pendidikan mahal, pasti
akan memilih anak laki-laki ketimbang perempuan untuk disekolahkan.
Selalu perempuan
yang semakin tersudutkan. Persoalan biaya pendidikan mahal adalah bukti bahwa
korupsi menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi mahal. Penyebabnya
tentu saja karena pos biaya yang dianggarkan telah dikorupsi.
Sulitnya akses
kesehatan dan mahalnya pendidikan hanya sedikit dari sekian banyak contoh
ketidakadilan yang harus dialami oleh perempuan. Hak yang didapatkan di
masyarakat sudah berbeda. Jadi, adanya korupsi semakin menguatkan dan
melanggengkan ketidakadilan yang dialami perempuan. Hak-hak asasi perempuan
akan semakin sulit terpenuhi selama korupsi masih terus terjadi.
Selamat Hari
Perempuan Internasional. Perempuan sebagai tonggak awal sebuah bangsa tentu
harus didukung segala pemenuhan hak-hak dasarnya tanpa ada diskriminasi. Semoga
semangat dan momentum ini menjadikan lebih banyak perempuan peduli pada
sesamanya dan mengorganisir suara-suara perempuan yang masih diabaikan oleh
pemerintah.
Sumber : https://bersatoe.com/
Menimbang Kembali
Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia
Sistem negara demokrasi di
Indonesia adalah pilihan rasional atas hipotesa fakta empiris dan sosiologis
terkait struktur dan tatanan masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas
metamorfosa pemikiran yang membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan
masyarakat sebagai episentrum partisipatoris akan quo vadis nasib
bangsanya. Walaupun demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan
pemerintahan yang sempurna, namun saat ini barangkali kita sepakat bahwa
pilihan demokrasi adalah pilihan terbaik dari sistem lainnya. Sebut saja
misalnya monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.
Walaupun demikian, sistem demokrasi
yang dipilih negara untuk mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat,
berbangsa dan bernegara bukanlah sebuah sistem sempurna dan tanpa cacat.
Oleh karenanya, sebuah sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara,
juga perlu menimbang berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses
subyektif maupun obyektif dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya
melalui sistem perwakilan (melalui mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD),
maupun langsung (melalui mekanisme pemilu presiden dan pilkada).
Pemilihan Umum secara langsung dalam
pilkada, sejatinya merupakan salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah
diterapkan di Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya
merupakan upaya memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait
pengejewantahan hak-hak politik dan sosialnya, yang dijamin secara
konstitusional. Medium demokrasi dan demokratisasi melalui mekanisme politik
partisipasi inilah yang diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect.
Bukan saja terkait pada semakin besarnya tingkat pendewasaan berfikir
masyarakat akan hak dan kewajiban politik-konstitusionalnya, namun juga
diharapkan melalui mekanisme dan sistem pemilihan langsung (baik pilpres maupun
pilkada). Posisi tawar masyarakat terkait kepentingannya menentukan masa depan
yang lebih baik semestinya menjadi keniscayaan.
Terkait hasil dan berbagai problem
dalam pelaksanaan pilkada itulah, saat ini diperlukan kembali upaya menakar
ekses penerapan sistem pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk
wacana untuk mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk
memberikan referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang
kembali implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa
mencederai substansi peran partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi
catatan penting mengingat pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris,
akhirnya menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita
politik masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil
pilkada dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan perspektif pemberitaan
media massa tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang
sangat penting sebagai ranah kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk
menempatkan kembali quo
vadis pilkada dalam konteks yang lebih produktif bagi
kemaslahatan masyarakat. Keyword penting
tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, Pilkada
di daerah masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan masyarakat
untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi
catatan penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis
memandang bahwa pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal
dari putra daerah merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap
bahwa mekanisme pemikiran dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan
aspirasinya masih lebih besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa
pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti
yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap
dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia
internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif
melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai
demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini
seharusnya perlu dikritisi agar masyarakat memahami dan cenderung lebih penting
mendudukkan kembali nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan kembali
secara personal maupun kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya,
pemimpin yang berasal dari putra daerah tidak serta merta berkoefisien
korelatif secara langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan
dengan struktur kekuasaan pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang
kepala daerah dengan ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat
mahal inilah yang justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah
berkembang secara tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat
mendefinisikan maksud pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu
telah menyebabkan terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang
ekonomistik, yang menempatkan kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai
investasi an sichdan
melihat potensi daerah sebagai opportunity ekonomi
bagi kepentingan pribadinya.
Implikasi politik terjadinya
kapitalisasi pilkada inilah yang menyebabkan demokratisasi-partisipasi
masyarakat menjadi ter-negasi oleh paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya
diletakkan sebagai obyek politik massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah
hanya ketika proses pilkada itu berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi
kapitalisasi pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.
Masyarakat memang sejatinya mendapat
“berkah” sesaat dari proses pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada
usai, maka kepala daerah terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi
kembali asset yang telah dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu
berlangsung. Fakta ini bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait
tingkat korupsi kepala daerah yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir
oleh lembaga-lembaga survei bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah
dipimpin oleh seorang pemimpin berstatus tersangka.
Karena terjadinya pola kapitalisasi
pilkada inilah, maka yang terjadi adalah siapa yang mempunyai modal besar,
dialah yang akan menjadi pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah
kemudian berimbas bagi ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada.
Ketidakrelaan kekalahan ini kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi
hasil pilkada baik secara formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun
mempolitisasi massa untuk tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga,
berimplikasi kepada timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala
daerah terpilih. Lebih parah lagi, semakin diproduksinya eskalasi konflik
politik dan konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh
calon yang tidak berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian,
maka kita kerap menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak
pernah kunjung usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan
pilkada jauh telah usai.
Kedua, pilkada
merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset pengelolaan
negara yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat
reformasi adalah merubah tatanan struktur pengelolaan birokrasi negara yang
tadinya sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari
semangat merubah tatanan dari orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca
reformasi sekarang ini. Namun demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi
bergulir, semangat desentralisasi ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin
daerah untuk “bebas” mengeksploitasi daerah sesuai dengan selera kekuasaannya.
Radikalisasi pengelolaan pemerintahan daerah inilah yang menyebabkan konstitusi
negara yang diatur dan dijalankan oleh pemerintah pusat terabaikan. Yang
terlihat, justru munculnya raja-raja kecil yang sangat “otonom” menguasai
daerah.
Akibatnya, program-program nasional
yang dicanangkan oleh pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya
distorsi ini terlihat ketika presiden, sebagaimana dilansir berbagai
media massa, menyatakan salah satu gagalnya program-program berskala nasional,
karena ulah arogansi sepihak pimpinan daerah. Misalnya , masalah kebijakan
ekonomi dan investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah
daerah sekelas walikota dan bupati. Terhambatnya program-program
tersebut, bukan cuma terkait dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga
disebabkan karena banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan
pemerintah daerah yang tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan
dan regulasi pemerintah pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan.
Kebijakan pemerintah pusat menjadi gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan
teknis di daerah.
Pemerintah memang kerap melakukan
evaluasi terkait persoalan ini. Namun faktanya, hingga saat ini, problem
mendasar masalah regulasi dan kebijakan pemimpin daerah yang menghambat
kebijakan program nasional pemerintah pusat, masih kerap terjadi. Salah satu
sebab mendasar yang menjadi argumentasi pemerintah daerah adalah
menyangkut persoalan intervensi pemerintah pusat, yang dianggap melanggar
sendi-sendi atau semangat otonomi daerah. Kesalah-kaprahan memaknai otonomi
daerah inilah yang menyebabkan pemerintah pusat sampai saat ini mengalami dispute dan
seolah tidak memiliki kekuasaan “memaksa”. Padahal, pemerintah pusat secara
formal dan konstitusional punya kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman
pengelolaan daerah, karena terlalu sempit menafsirkan konsep kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyatnya di daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah
daerah “merasa” mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.
Ketiga, Pemilukada
telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi “theatrical“. Yakni
demokrasi yang diusung melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas
kosmetika wajah suatu bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam
pemilihan umum. Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Namun,
dalam prakteknya hal tersebut sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya.
Walaupun kita sibuk menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi,
faktanya proses tersebut tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor
lain, yang mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara
konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain
dipengaruhi oleh wibawanya Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD
dalam membuat aturan yang tegas terkait rule
of the game pemilukada. Hal tersebut penting, mengingat selama
ini regulasi yang tegas hanya terkait pada proses dan mekanisme pemilhan. Namun
sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan membangun law enforcement bagi
setiap bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran konstitusional aturan
pemilukada. Sehingga inilah yang dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan
demokrasi substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan
hak-hak civil
society dengan baik.
Terkait dengan masalah civil society ini,
maka faktor yang mendorong berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi
juga oleh, bagaimana peran parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah.
Sebab selama ini proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan
mekanisme politik praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini
yang menyebabkan hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang
pengusaha dan/ atau mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara, parpol
berfungsi hanya sebagai stempel yang menjadi kendaraan sekaligus supir yang
ditumpangi oleh calon kepala Daerah. Kondisi obyektif inilah yang menyebabkan
hasil pemilukada secara langsung tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang
berkualitas, kompeten dan memiliki integritas serta peduli dengan rakyatnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya,
karena persoalan melihat perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis
inilah maka yang terjadi praktek korupsi di daerah dan suburnya
persoalan money
politics tak pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas
dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks
melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala
daerah dengan parpol sama-sama memiliki persepsi dan mindset yang
sama, yakni memahami pilkada sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang
profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka
panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat.
Keempat,
Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung presiden juga harus dilakukan
pula terhadap gubernur, bupati dan walikota harus segera dievaluasi.
Alasan kompabilitas sebagai implementasi UU No.32 Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan
agar arah pembangunan politik dan ekonomi bersinergi serta terintegrasi
dari pusat sampai ke daerah. Namun pada kenyataannya, kesamaan proses inilah
yang menjadi akar penyebab hirarki kepemimpinan dalam pemerintahan
menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan
di daerah dan pusat seolah masing-masing berdiri sendiri.
Implikasinya, baik pemerintah maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial
-tidak kontekstual sesuai dengan arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti
ini, sebenarnya sama saja bangsa ini menerapkan pseudo demokrasi.
Hanya menjadikan pemimpin sekedar simbol kosong, yang tidak memiliki peran
strategis dalam memberdayakan rakyatnya. Dengan kata lain, kondisi ini
menyebabkan ada atau tidaknya pemimpin, pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat di daerah khususnya, ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib
individu masyarakatnya. Padahal negara berperan melindungi segenap masyarakat
dan memajukan kesejahteraan masyarakat.
Empat kata kunci tentang implikasi
dinamika pelaksanaan pilkada ini, seyogyanya mendorong pengambil
kebijakan negeri ini untuk menemukan formasi ideal dan proporsional terkait
masa depan bangsa. Khususnya, menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan
melalui pemilukada. Sehingga dapat menimbang dan menakar secara obyektif,
antara konsep sistem pelaksanaan demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul
selama penerapan pemilukada secara langsung di daerah. Proses ini
seharusnya menjadikan bangsa besar ini lebih peka terhadap berbagai akar
persoalan baik secara ideologis, sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi
preseden yang tak pernah selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan
kuantitatsnya.
Seperti besarnya biaya politik
pemilukada dan money
politics selama proses pemilukada, yang berimbas pada
terjadinya korupsi pemimpin di daerah sebagai bentuk pengganti ongkos investasi
menjadi pemimpin. Selain itu, terjadinya resistensi pemimpin daerah
kepada pemerintah pusat, yang menyebabkan eksistensi pemerintah pusat justru
tidak legitimate di
mata pemerintah daerah terkait dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan
berskala nasional yang tidak/ enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Bahkan, tak jarang di tentang oleh pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya
konflik horizontal antar masyarakat akar rumput karena kerap dipicu oleh
pemanfaatan politik massa oleh calon pemimpin dan pemimpin yang berkuasa
didaerah. Baik selama proses pemilukada maupun sepanjang pemimpin tersebut
memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya kerap dipicu oleh calon pemimpin
daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.
Pada akhirnya, setidaknya perlu
evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana
mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan
presiden dan gubernur saja. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung
tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa mencederai hak dan
kepentingan civil
society masyarakat terhadap negara.
Sumber : https://trinanda.wordpress.com/