Blogger Widgets

Sabtu, 23 September 2017

Artikel Media Massa

Artikel Media Massa
DPR dan Belenggu Century
DPR dan Belenggu Century. Kasus Century ibarat badai yang tak kunjung berlalu. Setelah menyita perhatian publik begitu besar dalam pengambilan keputusan politik di DPR yang akhirnya memutuskan bahwa kebijakan pemberian dana talangan adalah kebijakan yang salah dan terindikasi melanggar hukum, kini kasus Century kembali memanas seiring dengan pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang berjanji menuntaskan kasus Century dalam waktu satu tahun.

Blunder Ketua KPK

Pernyataan Ketua KPK menjadi blunder karena disampaikan dalam forum politik di DPR yang memberi kesan seolah KPK memang sejak awal menjadikan Century sebagai sasaran tembak. Sebagaimana diketahui bahwa Century kerap dijadikan bahan tawar-menawar politik Partai Golkar dalam menyikapi kebijakan strategis Pemerintah. Padahal, ada banyak kasus besar yang telah menunggu KPK seperti kasus Gayus dan suap dalam pemilihan DGS BI.

Celakanya, pernyataan Abraham Samad ini dikeluarkan untuk kasus yang sangat kental nuansa politiknya. Seharusnya KPK fokus saja menangani dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus tersebut, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan peluru untuk membombardir KPK di kemudian hari. Jika dalam setahun KPK tak mampu membongkar kasus Century, KPK akan kembali menjadi sasaran tembak politisi Senayan.

Permasalahan menjadi semakin runyam ketika masa kerja tim pengawas kasus Century diperpanjang. Timwas tentu akan semakin mendorong KPK setelah pimpinannya mengeluarkan janji tersebut, dan bisa jadi, dorongan tersebut adalah upaya mendikte dan membelenggu KPK.

Politik Pencitraan


Tak hanya itu, kentalnya nuansa politik dalam kasus Century juga akan dijadikan sarana bagi parpol untuk kembali rajin menyambangi media massa dan berusaha mencuri perhatian publik untuk kepentingan Pemilu 2014. Kita ingat betul betapa seringnya para inisiator hak angket Century dahulu begitu fenomenal karena selalu muncul di televisi. Bayangkan, terus bergulirnya kasus Century dapat dijadikan alat kampanye gratis bagi politisi yang akan bertarung di pemilu.

Perlu dipahami bahwa kasus Century berdiri di dua ranah yang akan berbeda muara penyelesaiannya, yakni politik dan hukum. Politik hanya akan menghasilkan transaksi-transaksi, sementara hukum membuktikan benar atau tidaknya upaya penyelamatan Bank Century dan siapa yang mengambil keuntungan di balik penyelamatan itu.

Untuk itu, biarkan KPK menyelesaikan dimensi hukum kasus Century dan kita mendorong penyelesaian kasus sesegera mungkin. Jika memang tidak ditemukan indikasi korupsi berdasarkan fakta dan bukti, tentu KPK harus tegas melaporkannya kepada publik, dan masyarakat harus mengawalnya dari tekanan politik manapun. Dan bagi DPR, alangkah baiknya jika proses politik hak angket dilanjutkan dengan menempuh hak menyatakan pendapat yang memang dijamin oleh undang-undang. Dengan begitu, pendapat DPR jika memang menyatakan adanya dugaan tindak pidana oleh wakil presiden maka dapat segera ditindaklanjuti dengan mekanisme forum previlegiatum oleh Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan di parlemen.

Dengan begitu, hukum akan tetap menjadi panglima tanpa harus mengerdilkan proses politik. Mengenai tak sehatnya dinamika politik, biarlah rakyat yang menilai.

M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT Korupsi) FH UGM

Opini, Okezone,  30 Januari 2012
Thank You!










  

Media Massa
            Media massa (mars media) singkatan dari media komunikasi massa (mass communication media) yaitu sarana, channel, atau media untuk berkomunikasi kepada public. Istilah media sering disingkat “media” saja tanpa “massa”. Media massa merupakan suatu sumber informasi, hiburan, dan sarana promosi (iklan). Pengertian media massa menurut leksikon komunikasi, media massa adalah “sarana penyampai pesan yang berhubungan langsung dapat masyarakat luas misalnya radio, televise, dan surat kabar”. Menurut cangara media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media massa sendiri alat yang digunaka dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio dan televise.Media massa adalah sarana komunikasi massa dimana proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (public) secara serentak.

            Karakteristik media massa, sebuah media bisa disebut media massa jika memiliki karakteristik tertentu, karakteristik media massa menurut cangara (2006) antara lain :
1.      Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyakorang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelola, sampai pada penyajian informasi.
2.      Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau pun terjadi reaksi/umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3.      Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang dalam waktu yang sama.
4.      Memakai perantara teknis atau mekanis, seperti radio, televise, surat kabar dan semacamnya.
5.      Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.

  Menurut Djafar H. Assegaf (1991), media massa memiliki 5 ciri :
1.      Komunikasi yang terjadi dalam media massa bersifat searah dimana komunikasi tidak dapat       memberikan tanggapan secara langsung kepada komunikatornya yang biasa disebut dengan tanggapan  yang tertunda,
2.      Media massa menyajikan rangkaian/aneka pilihan materi yang luas bervariasi,
3.      Media massa dapat menjangkau sejumlah besar khlayak,
4.      Media massa menyajikan materi yang dapat mencapai tingkat intelek rata-rata,
5.      Media massa diselenggarakan oleh lembaga masyarakat atau organisasi yang terstruktur.

   Kategori media dapat diklasifikasikan kepada 3 kategori :
1.      Media cetak contohnyai koran, buletin, majalah, dan lain sebagainya
2.      Media elektronik contonya  televisi, radio, video, film, dan lain sebagainya
3.      Media online contohnya koran online, internet dan lain sebagainya

Media massa memiliki peranan strategis guna membentuk pola pikir dan tindakan masyarakat. Dan pada era keterbukaan seperti saat ini media menjadi referensi atau acuan dalam setiap tindakan dan keputusan strategis contoh media televisi yang sering menayangkan tindak kriminal dan kekerasan secara tidak langsung telah ikut mereduksi cara pandang dan tindakan masyarakat. Sehingga informasi yang diperoleh mendorong individu (penonton) untuk meniru adegan atau tindakan yang ada di TV. Akibatnya tayangan kekerasan di TV, kekerasan ditengah masyarakat pun meningkat, masyarakat menjadi kecanduan terhadap kekerasan yang dilihat dalam penanyangan televisi, semisal penanyangan acara smackdown di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus, banyak anak-anak yang meniru adegan tersebut, sehingga banyak mengakibatkan anak-anak yang tewas akibat meniru adegan di televisi tersebut Dampak positif dari adanya televisi ialah masyarakat dapat memperoleh informasi secara cepat, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat sehingga masyarakat tidak ketinggalan berita. Jadi disarankan kepada para masyarakat agar bisa menyaring/ pandai-pandai memilah tontonan yang ditonton.

Selain dampak negatif dan dampak positif dari media televisi ada juga dampak positif dan dampak negatif dari media internet yakni facebook. Dampak negatif dari facebook adalah kita akan menghabiskan banyak waktu dan uang untuk bermain facebook sehingga pekerjaan yang lain akan dilalaikan, facebook juga akan bisa dijadikan ajak penculikan atau penipun. Dan saat ini banyak anak yang diculik melalui facebook dengan bermodalkan embel-embel cinta, sering sekali di telivisi disiarkan orang tua yang kehilangan anak akibat berkenalan difacebook yang didominasi oleh para remaja, awalnya mereka akan diajak berkenalan lalu lama kelamaan mereka akan diajak pergi jauh atau semacam diculik, mengetahui anaknya tidak kunjung pulang maka para orang tua akan kebinggungan mencari anaknya. Dampak positif dari facebook adalah kita dapat bertemu teman lama di facebook kita bisa mencekramah atau berbincang-bincang disana, kita bisa mendapat informasi dan lain sebagainya. Jadi media massa mengandung banyak sekali dampak, kita sendiri yang harus pandai-pandai dalam menggunakannya.








Perempuan Terdampak Korupsi

Perempuan adalah rahim bangsa, dari dirinya lahir generasi penerus. Perempuan juga menjadi titik awal di mana anak mendapatkan pendidikan, seperti yang dikatakan RA Kartini dalam penggalan suratnya di atas. Memiliki rahim, hamil, melahirkan dan harus berwawasan demi bekal mendidik adalah hal yang harus dimiliki seorang perempuan. Sayangnya, apakah kebutuhan untuk memenuhi itu semua sudah tercukupi? Rasanya tidak. Masih banyak perempuan Indonesia yang belum sepenuhnya mendapatkan haknya.
Lantas apa yang membuat pemenuhan kebutuhan perempuan Indonesia tidak terpenuhi? Banyak hal dan banyak faktor. Pendidikan rendah, kesehatan sulit diakses, layanan publik tidak memadai dan segudang permasalahan lainnya. Seandainya permasalahan ini diurai, salah satu faktor pemicu paling besar adalah korupsi. Seperti dikatakan Frans Magnis Suseno, korupsi ibarat rayap menggerogoti tiang kehidupan bangsa yang telah dibangun. Perlahan tapi pasti, korupsi menghancurkan banyak sektor dan banyak masyarakat tidak menyadari ini.
Paradigma korupsi merugikan belum nampak terlihat di masyarakat. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bila uang tak hilang dari dompet, maka tak jadi golongan yang terdampak korupsi. Padahal pandangan semacam ini adalah salah. Coba kita bayangkan, saat uang negara dikorup,  masyarakat bisa mendapatkan satu bagian. Padahal bila uang tersebut tidak dikorup masyarakat bisa menikmati sepuluh bagian.
Bagi banyak orang dampak korupsi bisa jadi tidak dirasakan secara signifikan, apalagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Tapi coba sejenak kita lihat daerah yang jauh dari riuh rendahnya kota-kota besar. Mereka masyarakat yang paling terdampak, termasuk perempuannya.
Misalnya saat mengandung, seorang perempuan harus memeriksakan keadaannya ke puskesmas atau rumah sakit. Tapi bagi sebagian perempuan yang tinggal jauh dari akses kesehatan akan merasakan kesulitan. Belm lagi masalah seperti ini biasanya karena fasilitas infrastruktur atau jalan yang tidak memadai.
Begitupun saat akan melahirkan, tidak sedikit perempuan Indonesia meninggal saat melahirkan. Lihat saja hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Angka Kematian Ibu masih cukup tinggi, 359 per 100.000 kelahiran. Padahal harapannya sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut menunjukkan tingkat kesehatan perempuan yang masih rendah.
Persoalan ini memang kompleks. Tapi setidaknya kesulitan perempuan untuk akses kesehatan salah satuya disebabkan oleh mengguritanya korupsi. Cerita pilu lainnya yang harus dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah persoalan pendidikan. Sistem patriarki menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Sebuah keluarga yang hanya mampu menyekolahkan salah satu anaknya karena biaya pendidikan mahal, pasti akan memilih anak laki-laki ketimbang perempuan untuk disekolahkan.
Selalu perempuan yang semakin tersudutkan. Persoalan biaya pendidikan mahal adalah bukti bahwa korupsi menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi mahal. Penyebabnya tentu saja karena pos biaya yang dianggarkan telah dikorupsi.
Sulitnya akses kesehatan dan mahalnya pendidikan hanya sedikit dari sekian banyak contoh ketidakadilan yang harus dialami oleh perempuan. Hak yang didapatkan di masyarakat sudah berbeda. Jadi, adanya korupsi semakin menguatkan dan melanggengkan ketidakadilan yang dialami perempuan. Hak-hak asasi perempuan akan semakin sulit terpenuhi selama korupsi masih terus terjadi.
Selamat Hari Perempuan Internasional. Perempuan sebagai tonggak awal sebuah bangsa tentu harus didukung segala pemenuhan hak-hak dasarnya tanpa ada diskriminasi. Semoga semangat dan momentum ini menjadikan lebih banyak perempuan peduli pada sesamanya dan mengorganisir suara-suara perempuan yang masih diabaikan oleh pemerintah.



Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia

Sistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional atas hipotesa fakta empiris dan sosiologis terkait struktur dan tatanan masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas metamorfosa pemikiran yang membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat sebagai episentrum partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat ini barangkali kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan terbaik  dari sistem lainnya. Sebut saja misalnya monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.
Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara bukanlah sebuah sistem  sempurna dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara,  juga perlu menimbang berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem perwakilan (melalui mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun langsung (melalui mekanisme pemilu presiden dan pilkada).
Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya merupakan salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya  memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait pengejewantahan hak-hak politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium demokrasi dan demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah yang diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja terkait pada semakin besarnya tingkat pendewasaan berfikir masyarakat akan hak dan kewajiban politik-konstitusionalnya, namun juga diharapkan melalui mekanisme dan sistem pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada). Posisi tawar masyarakat terkait kepentingannya menentukan masa depan yang lebih baik semestinya menjadi keniscayaan.
Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada itulah, saat ini diperlukan kembali upaya menakar ekses penerapan sistem pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk wacana untuk mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk memberikan referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai substansi peran partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan penting mengingat pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita politik masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil pilkada dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai ranah kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menempatkan kembali quo vadis pilkada dalam konteks yang lebih produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, Pilkada di daerah masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan masyarakat untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi catatan penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis memandang bahwa pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal dari putra daerah  merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap bahwa mekanisme pemikiran dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan aspirasinya masih lebih besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi agar masyarakat memahami dan cenderung lebih penting mendudukkan kembali nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan kembali secara personal maupun kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya, pemimpin yang berasal dari putra daerah tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur kekuasaan pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang  kepala daerah dengan ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat mahal inilah yang justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah berkembang secara tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan maksud pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah menyebabkan terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang ekonomistik, yang menempatkan kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai investasi an sichdan melihat potensi daerah sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.
Implikasi politik terjadinya kapitalisasi pilkada inilah yang menyebabkan demokratisasi-partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya diletakkan sebagai obyek politik massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika proses pilkada itu berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi kapitalisasi pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.
Masyarakat memang sejatinya mendapat “berkah” sesaat dari proses pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala daerah terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi kembali asset yang telah dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu berlangsung. Fakta ini bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala daerah yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga survei bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang pemimpin berstatus tersangka.
Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang terjadi adalah siapa yang mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah kemudian berimbas bagi ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan kekalahan ini kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik secara formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi massa untuk tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga, berimplikasi kepada timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala daerah terpilih. Lebih parah lagi,  semakin diproduksinya eskalasi konflik politik dan  konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon yang tidak berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian, maka kita kerap menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak pernah kunjung usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan pilkada jauh telah usai.
Kedua, pilkada merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset pengelolaan negara yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah tatanan struktur pengelolaan birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari semangat merubah tatanan dari orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi sekarang ini. Namun demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat desentralisasi ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk “bebas” mengeksploitasi daerah sesuai dengan selera kekuasaannya. Radikalisasi pengelolaan pemerintahan daerah inilah yang menyebabkan konstitusi negara yang diatur dan dijalankan oleh pemerintah pusat terabaikan. Yang terlihat, justru munculnya  raja-raja kecil yang sangat “otonom” menguasai daerah.
Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat ketika presiden, sebagaimana dilansir  berbagai media massa, menyatakan salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah arogansi sepihak pimpinan daerah.  Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah sekelas  walikota dan bupati. Terhambatnya program-program tersebut, bukan cuma terkait dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga disebabkan karena banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah daerah yang tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan pemerintah pusat menjadi gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan teknis di daerah.
Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan ini. Namun faktanya, hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan kebijakan pemimpin daerah yang menghambat kebijakan program nasional pemerintah pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab mendasar yang menjadi argumentasi pemerintah daerah adalah  menyangkut persoalan intervensi pemerintah pusat, yang dianggap melanggar sendi-sendi atau semangat otonomi daerah. Kesalah-kaprahan memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan pemerintah pusat sampai saat ini mengalami dispute dan seolah tidak memiliki kekuasaan “memaksa”. Padahal, pemerintah pusat secara formal dan konstitusional punya kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman pengelolaan daerah, karena terlalu sempit menafsirkan konsep kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah daerah “merasa” mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.
Ketiga, Pemilukada telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi “theatrical“. Yakni demokrasi yang diusung  melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas kosmetika wajah suatu bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam pemilihan umum. Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil.  Namun, dalam prakteknya hal tersebut sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya. Walaupun kita sibuk menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi, faktanya proses tersebut  tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor lain, yang mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat aturan yang tegas terkait rule of the game pemilukada. Hal tersebut penting, mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait pada proses dan mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan membangun law enforcement bagi setiap bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran konstitusional aturan pemilukada. Sehingga inilah yang dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan demokrasi substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak civil society dengan baik.
Terkait dengan masalah civil society ini, maka faktor yang mendorong berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh, bagaimana peran parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah. Sebab selama ini proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan mekanisme politik praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang menyebabkan hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang pengusaha dan/ atau mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara, parpol berfungsi hanya sebagai stempel yang menjadi kendaraan sekaligus supir yang ditumpangi oleh calon kepala Daerah. Kondisi obyektif inilah yang menyebabkan hasil pemilukada secara langsung tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki integritas serta peduli dengan rakyatnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan melihat perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang terjadi  praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama memiliki persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat.
Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung presiden juga harus dilakukan pula terhadap gubernur,  bupati dan walikota harus segera dievaluasi. Alasan kompabilitas sebagai implementasi UU No.32 Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah  pembangunan politik dan ekonomi bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai ke daerah. Namun pada kenyataannya, kesamaan proses inilah yang  menjadi akar penyebab hirarki kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah  dan  pusat seolah masing-masing berdiri sendiri. Implikasinya, baik pemerintah maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial -tidak kontekstual sesuai dengan arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya sama saja bangsa ini menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin sekedar simbol kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan rakyatnya. Dengan kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya pemimpin, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya, ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib individu masyarakatnya. Padahal negara berperan melindungi segenap masyarakat dan memajukan kesejahteraan masyarakat.
Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan pilkada  ini, seyogyanya mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk menemukan formasi ideal dan proporsional terkait masa depan bangsa. Khususnya, menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan melalui pemilukada. Sehingga dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep sistem pelaksanaan demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama penerapan pemilukada secara langsung di daerah.  Proses ini seharusnya menjadikan bangsa besar  ini lebih peka terhadap berbagai akar persoalan baik secara ideologis, sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi preseden yang tak pernah selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.
Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money politics selama proses pemilukada, yang berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di daerah sebagai bentuk pengganti ongkos investasi menjadi pemimpin.  Selain itu, terjadinya resistensi pemimpin daerah kepada pemerintah pusat, yang menyebabkan eksistensi pemerintah pusat justru tidak legitimate di mata pemerintah daerah terkait dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan berskala nasional yang tidak/ enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya konflik horizontal antar masyarakat akar rumput karena kerap dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon pemimpin dan pemimpin yang berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada maupun sepanjang pemimpin tersebut memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya kerap dipicu oleh calon pemimpin daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung  hanya cukup sampai dengan presiden dan gubernur saja. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.

Sumber : https://trinanda.wordpress.com/